Kebijakan politik
keamanan pemerintah Indonesia di Papua selama 18 bulan terakhir menuai
kecaman. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyitir data lebih dari
1.000 aktivis ditahan oleh polisi sepanjang Presiden Joko Widodo
menjabat. Manuver politik luar negeri Indonesia di negara-negara
Melanesia dituding untuk meredam pelanggaran hak asasi pada warga dua
provinsi di Papua yang memiliki aspirasi merdeka.
Insiden terbaru adalah penangkapan
sembilan orang anggota KNPB di Kota Timika pada Selasa, 5 April lalu.
Berdasarkan informasi dari pegiat Papua itu Kita, Zely Ariane,
penangkapan aktivis KNPB pekan ini diiringi kekerasan oleh aparat Polres
Timika yang dibantu oleh beberapa personel TNI.
Para pegiat KNPB itu sedang menggelar doa
bersama dalam rangka dukungan moral kepada Gerakan Papua Barat Bersatu
Untuk Pembebasan (ULMWP) yang mengajukan permintaan menjadi anggota
tetap Komunitas Negara Melanesia (MSG).
“Pemerintah Indonesia tetap meneruskan
pendekatannya yang paranoid, eksploitatif dan represif,” tulis Zely
melalui laman Facebook-nya dua hari lalu.
mahasiswa Papua ditangkap polda DKI (c) 2015 Merdeka.com/Intan Umbari Prihatin
Sebagai perbandingan, data Komnas HAM
mencatat 700 warga Papua ditangkap serta disiksa oleh aparat Indonesia.
Mayoritas dari mereka dikenai tuduhan makar saat menggelar aksi damai.
Sedangkan organisasi Papua itu Kita mencatat 653 penangkapan dari April
2013-Desember 2014, disusul 479 penahanan aktivis dari 30 April-1 Juni
2015.
Insiden penangkapan terbaru di Timika itu
berselang sepekan setelah safari politik Menkopolhukam Luhut Panjaitan
ke Fiji dan Papua Nugini. Luhut mengaku fokus pemerintah Indonesia saat
ini adalah menjalin relasi lebih baik dengan 16 negara di kawasan
Pasifik, yang mayoritas tergabung dalam MSG.
Luhut tidak menampik, lawatan akhir Maret
lalu terkait juga dengan kepentingan politik Indonesia terhadap MSG.
Namun mantan Danjen Kopassus itu menutup rapat-rapat semua wacana soal
kemungkinan memberi rakyat Papua kesempatan merdeka.
“Indonesia memang merupakan anggota
organisasi tersebut, tapi kami menolak jika ada wacana memerdekakan
Papua,” kata Luhut dalam keterangan tertulis 28 Maret lalu. “Papua
adalah bagian dari Indonesia, tidak bisa ditawar lagi.”
Dalam kesempatan terpisah, juru bicara
ULMWP, Benny Wenda, mempertanyakan motivasi Indonesia kini mendekati
negara-negara MSG. Dia menuding safari politik Luhut hanya pepesan
kosong, sebab aspirasi warga Papua selalu dikekang oleh represi militer.
“Ketika Luhut berkampanye agar Indonesia
bisa diterima sebagai anggota penuh Melanesia, di dalam negeri
pembantaian rakyat Papua diteruskan,” kata Wenda seperti dilansir Radio
New Zealand, Jumat (8/4).
Sekadar mengingatkan, pada Juni 2015 Indonesia
diterima sebagai anggota MSG. Sedangkan ULWMP yang turut mengajukan proposal serupa, diterima dengan status anggota pengamat.
Kementerian Luar Negeri RI menyatakan
berkepentingan dengan MSG, karena di tanah air terdapat 11 juta WNI dari
ras Melanesia, seperti di Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, hingga
NTT.
Zelly mengingatkan pemerintah Indonesia
untuk mengedepankan dialog dengan perwakilan ULMWP di forum MSG. Sejauh
ini, respon pemerintah RI masih menolak dan justru makin gencar
mengkriminalisasi ULMWP. Salah satu indikasinya adalah penurunan paksa
papan kantor WLMWP di Kota Wamena pada Februari 2016, serta pemanggilan
beberapa pegiatnya oleh kepolisian setempat.
“Pemerintah Indonesia tidak taat azas dan
tidak bijaksana dalam menanggapi proses kemajuan upaya perdamaian di
Tanah Papua. Hingga saat ini rakyat Indonesia tidak mendapat sosialisasi
yang baik terkait apa yang sudah dihasilkan oleh forum MSG terkait
Papua,” urai Zelly.
MSG, sebelum Indonesia bergabung ke
dalamnya, adalah salah satu motor pendorong kemerdekaan bangsa Papua.
Penduduk negara-negara Pasifik yang sama-sama bangsa Melanesia, meyakini
rakyat Papua selama hampir 50 tahun ditindas oleh rezim Jakarta. Marak
kampanye bahwa Pepera 1969 yang membuat Papua menjadi provinsi ke-26 RI
penuh manipulasi.
Pada 4 Maret 2014, Perdana Menteri
Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil di hadapan Sidang Tingkat Tinggi
HAM PBB ke-25, mendesak komunitas internasional mendukung kemerdekaan
rakyat Papua yang kini sebatas menjadi rakyat dua provinsi di Indonesia.
Selain Vanuatu, Kepulauan Solomon juga
tegas mendukung rakyat Papua Barat. Dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia
(HAM) ke-31 di Jenewa pertengahan Maret 2016, Diplomat Solomon, Barrett
Salato menuntut PBB memantau situasi penegakan HAM di Papua.
0 komentar:
Post a Comment