Sunday, April 24, 2016

Niat baik Jokowi pada Papua dipertanyakan saat 1.000 aktivis ditahan

showimg
Kebijakan politik keamanan pemerintah Indonesia di Papua selama 18 bulan terakhir menuai kecaman. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyitir data lebih dari 1.000 aktivis ditahan oleh polisi sepanjang Presiden Joko Widodo menjabat. Manuver politik luar negeri Indonesia di negara-negara Melanesia dituding untuk meredam pelanggaran hak asasi pada warga dua provinsi di Papua yang memiliki aspirasi merdeka.
Insiden terbaru adalah penangkapan sembilan orang anggota KNPB di Kota Timika pada Selasa, 5 April lalu. Berdasarkan informasi dari pegiat Papua itu Kita, Zely Ariane, penangkapan aktivis KNPB pekan ini diiringi kekerasan oleh aparat Polres Timika yang dibantu oleh beberapa personel TNI.
Para pegiat KNPB itu sedang menggelar doa bersama dalam rangka dukungan moral kepada Gerakan Papua Barat Bersatu Untuk Pembebasan (ULMWP) yang mengajukan permintaan menjadi anggota tetap Komunitas Negara Melanesia (MSG).
“Pemerintah Indonesia tetap meneruskan pendekatannya yang paranoid, eksploitatif dan represif,” tulis Zely melalui laman Facebook-nya dua hari lalu.
mahasiswa Papua ditangkap polda DKI (c) 2015 Merdeka.com/Intan Umbari Prihatin
Sebagai perbandingan, data Komnas HAM mencatat 700 warga Papua ditangkap serta disiksa oleh aparat Indonesia. Mayoritas dari mereka dikenai tuduhan makar saat menggelar aksi damai. Sedangkan organisasi Papua itu Kita mencatat 653 penangkapan dari April 2013-Desember 2014, disusul 479 penahanan aktivis dari 30 April-1 Juni 2015.
Insiden penangkapan terbaru di Timika itu berselang sepekan setelah safari politik Menkopolhukam Luhut Panjaitan ke Fiji dan Papua Nugini. Luhut mengaku fokus pemerintah Indonesia saat ini adalah menjalin relasi lebih baik dengan 16 negara di kawasan Pasifik, yang mayoritas tergabung dalam MSG.
Luhut tidak menampik, lawatan akhir Maret lalu terkait juga dengan kepentingan politik Indonesia terhadap MSG. Namun mantan Danjen Kopassus itu menutup rapat-rapat semua wacana soal kemungkinan memberi rakyat Papua kesempatan merdeka.
“Indonesia memang merupakan anggota organisasi tersebut, tapi kami menolak jika ada wacana memerdekakan Papua,” kata Luhut dalam keterangan tertulis 28 Maret lalu. “Papua adalah bagian dari Indonesia, tidak bisa ditawar lagi.”
Dalam kesempatan terpisah, juru bicara ULMWP, Benny Wenda, mempertanyakan motivasi Indonesia kini mendekati negara-negara MSG. Dia menuding safari politik Luhut hanya pepesan kosong, sebab aspirasi warga Papua selalu dikekang oleh represi militer.
“Ketika Luhut berkampanye agar Indonesia bisa diterima sebagai anggota penuh Melanesia, di dalam negeri pembantaian rakyat Papua diteruskan,” kata Wenda seperti dilansir Radio New Zealand, Jumat (8/4).
Sekadar mengingatkan, pada Juni 2015 Indonesia
diterima sebagai anggota MSG. Sedangkan ULWMP yang turut mengajukan proposal serupa, diterima dengan status anggota pengamat.
Kementerian Luar Negeri RI menyatakan berkepentingan dengan MSG, karena di tanah air terdapat 11 juta WNI dari ras Melanesia, seperti di Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, hingga NTT.
Zelly mengingatkan pemerintah Indonesia untuk mengedepankan dialog dengan perwakilan ULMWP di forum MSG. Sejauh ini, respon pemerintah RI masih menolak dan justru makin gencar mengkriminalisasi ULMWP. Salah satu indikasinya adalah penurunan paksa papan kantor WLMWP di Kota Wamena pada Februari 2016, serta pemanggilan beberapa pegiatnya oleh kepolisian setempat.
“Pemerintah Indonesia tidak taat azas dan tidak bijaksana dalam menanggapi proses kemajuan upaya perdamaian di Tanah Papua. Hingga saat ini rakyat Indonesia tidak mendapat sosialisasi yang baik terkait apa yang sudah dihasilkan oleh forum MSG terkait Papua,” urai Zelly.
MSG, sebelum Indonesia bergabung ke dalamnya, adalah salah satu motor pendorong kemerdekaan bangsa Papua. Penduduk negara-negara Pasifik yang sama-sama bangsa Melanesia, meyakini rakyat Papua selama hampir 50 tahun ditindas oleh rezim Jakarta. Marak kampanye bahwa Pepera 1969 yang membuat Papua menjadi provinsi ke-26 RI penuh manipulasi.
Pada 4 Maret 2014, Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil di hadapan Sidang Tingkat Tinggi HAM PBB ke-25, mendesak komunitas internasional mendukung kemerdekaan rakyat Papua yang kini sebatas menjadi rakyat dua provinsi di Indonesia.
Selain Vanuatu, Kepulauan Solomon juga tegas mendukung rakyat Papua Barat. Dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) ke-31 di Jenewa pertengahan Maret 2016, Diplomat Solomon, Barrett Salato menuntut PBB memantau situasi penegakan HAM di Papua.

0 komentar:

Post a Comment