Wednesday, May 20, 2015

Saatnya Akuntan Indonesia Siap Hadapi MEA 2015

LEBIH dari satu dekade yang lalu, visi ASEAN 2020 telah sepakat mem­bentuk sebuah pasar tung­gal di Kawasan Asia Tenggara un­tuk mewujudkan kawasan eko­nomi yang stabil, makmur dan ber­daya saing tinggi. Percepatan pem­bentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 kemudian disah­kan setelah para pemimpin ASE­AN menyepakati pembentukan yang awalnya tahun 2020 menjadi 2015 pada KTT-12 ASEAN di Cebu, Fili­pina. Kesepakatan tersebut diper­kirakan akan mengubah wa­jah ekonomi Indonesia secara be­sar-besaran karena akan terjadi per­gerakan bebas barang, jasa, inves­tasi, tenaga kerja terampil serta ali­ran modal.
   Realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang didasarkan konver­gensi negara-negara ASE­AN tentunya berdampak lu­as pada pere­konomian bangsa. Apa­lagi kebi­jakan MEA 2015 tidak ha­nya mem­buka arus perdagangan ba­rang atau jasa, tetapi juga pasar te­na­ga kerja profesional yang sa­lah sa­tunya adalah pekerjaan akun­tan. Sementara, akuntan Indo­ne­sia masih dikategorikan minim, ba­ik secara kuantitas maupun kua­li­tas. Melihat kondisi yang kru­sial tersebut, Pemerintah Indo­ne­sia pun tidak tinggal diam. Pe­merintah melakukan perubahan re­gulasi tentang perizinan akuntan be­re­gister di Indonesia serta men­dukung penyusunan standar pro­fessional dan sertifikasi profesi. Se­mua upaya dilakukan hanya de­ngan satu alasan. Indonesia tidak ingin menjadi tuan rumah yang ha­nya menonton di negeri sendiri. Di tengah persaingan yang ketat, Indo­nesia tidak menginginkan posisi akuntan dan pembukuan justru di­ram­pas oleh akuntan asing.
   Kekhawatiran pemerintah akan kom­petensi akuntan Indonesia telah men­dorong pemerintah menetapkan Mu­tual Recognition Arra­ngement on Accountancy Ser­vices dengan diter­bitkannya Pera­turan Menteri Keua­ngan Re­pub­lik Indonesia No­mor 25/PMK.01/2014 pada tanggal 3 Feb­ruari 2014 tentang Akuntan Be­re­gis­ter Negara oleh Kementerian Ke­uangan. Peluang untuk menjadi akun­tan beregister juga semakin ter­buka bagi kalangan lulusan S1 dari berbagai displin ilmu untuk mengi­kuti ujian Certified Public Accoun­tant (CPA) dan Chartered Accountant (CA) secara langsung tanpa perlu mengikuti pendidikan profesi khusus. Certified Public Accountant (CPA) adalah program sertifikasi untuk auditor dan Char­tered Accountant (CA) adalah prog­ram sertifikasi untuk akuntan selaku pe­nyusun laporan keuangan. 
   Sebelum peraturan baru ber­laku untuk menjadi seorang akun­tan beregister, para lulusan S1 Akuntansi atau bidang ilmu lain ha­rus mengambil Pendidikan Pro­fesi Akuntansi (PPAK) selama 9-24 bulan (tergantung kelas dan uni­ver­sitas yang diambil) dengan menye­le­saikan pendidikan 21-30 SKS un­tuk mendapatkan gelar Akuntan (Ak). Singkat kata, kebijakan tan­pa mengikuti PPAK dan S1 dari berbagai disiplin ilmu dapat mengikuti Ujian Sertifikasi Akuntan adalah untuk mempersiapkan para akuntan Indonesia yang berkualitas global dan mampu bersaing dengan akuntan-akuntan dari negara lainnya. 
   Ketua Institut Akuntan Publik In­donesia (IAPI), Tarko Sunaryo per­nah menyatakan adanya kekha­watiran akuntan Indonesia akan ka­lah saing dengan akuntan negara tetang­ga dikarenakan kurangnya penya­daran tentang kompetisi yang semakin ketat. Kemampuan da­lam berbahasa Inggris juga men­jadi salah satu kendala akuntan In­donesia menyambut MEA 2015. Sedangkan, negara tetangga meng­ganggap Indonesia adalah pang­sa pasar yang strategis untuk dima­suki. Oleh karena itu, akuntan Indo­nesia harus bergegas sebelum dima­suki akuntan asing.
 “Menurut saya akuntan Indo­ne­sia belum siap. Persiapan dan wak­tu yang diberikan kurang dan terlalu tergesa-gesa serta pem­be­kalan di kampus-kampus masih ku­rang. Apalagi akuntan Indonesia ma­sih asing dengan International Financial Reporting Standards” ungkap Supriyanto SE, MM, CPA yang merupakan auditor sekaligus akuntan pendidik yang sudah men­jalani profesinya selama 6 tahun. Be­liau telah mendapatkan gelar CPA setahun yang lalu. Menurut pan­d­angan beliau, MEA 2015 diber­lakukan dalam rentetan waktu yang terlalu singkat. Meskipun Ika­tan Akuntan Indonesia (IAI) telah me­lakukan langkah besar untuk mem­persiapkan akuntan Indonesia dengan ujian CA dan IAPI mempersiapkan auditor dengan ujian CPA, masih banyak akuntan yang bingung akan manfaat dan tu­juan gelar tersebut.
“Kesimpulannya terlalu last mi­nute. Kita kalah di kuantitas dan juga kualitas”. Selain itu, kesa­daran akan MEA 2015 yang masih le­mah di kalangan akuntan dan pe­ru­sahaan justru memperoleh respon yang pasif. “Tidak ada gam­baran ancaman sebesar apa yang akan terjadi karena kurangnya sosialisasi dan pembekalan kepada para mahasiswa dan para akuntan praktisi, sehingga kepedulian terha­dap MEA 2015 sangatlah kurang”. 
   Ketidakpedulian para akuntan me­mang tergambar jelas oleh para maha­siswa maupun lulusan Sarjana Akun­tansi, terutama oleh lulusan dan mahasiswa Sarjana Akuntansi di Kota Batam. Padahal Batam meru­pakan wilayah perbatasan yang paling dekat dengan negara-ne­gara ASEAN. Bahkan ada yang di antara mereka tidak tahu apa itu MEA 2015 dan apa dampaknya terha­dap pasar Indonesia. Sedang­kan MEA 2015 sudah di depan mata dan pemerintah sudah merasa was-was takut terancam. Sesungguhnya me­reka bukan tidak tahu, melainkan ku­rang peduli.
Tantangan akuntan Indonesia da­lam MEA 2015 bukan lagi masa­lah individual dan bukan juga ma­sa­lah profesi. Kini, tantangan ini telah menjadi masalah nasional yang menyangkut kemajuan profesi nanti. Janganlah Indonesia menjadi peng­guna jasa akuntan negara lain, ketimpang akuntan negara sendiri. Negara lain memandang Indonesia sebagai pangsa pasar yang strategis untuk dimasuki, tapi apakah kita menyediakan kesempatan ini terbu­ka lebar untuk dijajahi akuntan asi­ng? Tentu saja tidak. Dari sisi kom­­­pe­tensi dan keahlian, akuntan In­do­nesia sesungguhnya mampu ber­saing karena standar pendidikan dan infra­struktur pengembangan kom­­petensi terus diperbaiki dan te­rus di­tuntut mengikuti standar inter­nasional. Apabila kita mampu men­capai sinergitas dan memiliki strategi untuk menjadi juara, kita bisa menang. Artinya, peningkatan kualitas dan kuantitas harus terus kita pantau.
   Indonesia justru memiliki potensi besar karena menurut data dari IAI, akuntan beregister saat ini sudah mencapai 52.000 dan jumlahnya terus bertambah s­e­tiap tahun karena banyak lulusan prog­ram studi akuntansi dari berbagai uni­ver­sitas di Indonesia. Kuantitas ti­dak menjadi hal yang krusial, na­mun yang perlu kita cermati ada­lah jumlah akuntan publik yang per­­tum­buhannya kurang signifikan (ku­rang dari 4%) dan rendahnya pe­minat yang mengambil program profesi.
Melihat kondisi-kondisi di atas, sudah saatnya akuntan Indo­ne­sia bangun dari tidurnya. Ke­luar dari zona nyaman dan mening­kat­kan kompetensi melalui ujian ber­ser­tifikasi. Dengan mendapatnya serti­fikasi akuntan, para akuntan da­pat membuka kantor akuntan mi­lik sendiri dan berhak melakukan pengau­ditan. Dengan bertambahnya akuntan bersertifikat, secara lang­sung daya saing akuntan Indonesia me­ningkat dan tidak lagi menjadi bumerang untuk diserang bangsa asing.
Tidak mungkin kita membiarkan ne­gara kita dipenuhi akuntan dari ne­gara ASEAN lainnya seperti Si­nga­pura, Malaysia, Thailand, Kam­boja, Vietnam, Brunei Daru­salam bahkan Filipina. Bangsa Indo­nesia adalah bangsa yang kaya, kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Hanyalah semangat kompetitif saat ini belum terpupuk, rasa sinergitas yang masih harus terus dijaga. Ayo Akuntan Indonesia! Bergegaslah! Mari kita bersinergi agar dunia bisnis dan perdagangan kita di bawah kontrol kita sendiri, orang Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment