LEBIH dari satu dekade yang lalu, visi
ASEAN 2020 telah sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di Kawasan
Asia Tenggara untuk mewujudkan kawasan ekonomi yang stabil, makmur dan
berdaya saing tinggi. Percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015 kemudian disahkan setelah para pemimpin ASEAN menyepakati
pembentukan yang awalnya tahun 2020 menjadi 2015 pada KTT-12 ASEAN di
Cebu, Filipina. Kesepakatan tersebut diperkirakan akan mengubah wajah
ekonomi Indonesia secara besar-besaran karena akan terjadi pergerakan
bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil serta aliran
modal.
Realisasi tujuan akhir dari integrasi
ekonomi yang didasarkan konvergensi negara-negara ASEAN tentunya
berdampak luas pada perekonomian bangsa. Apalagi kebijakan MEA 2015
tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga
pasar tenaga kerja profesional yang salah satunya adalah pekerjaan
akuntan. Sementara, akuntan Indonesia masih dikategorikan minim,
baik secara kuantitas maupun kualitas. Melihat kondisi yang krusial
tersebut, Pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pemerintah
melakukan perubahan regulasi tentang perizinan akuntan beregister di
Indonesia serta mendukung penyusunan standar professional dan
sertifikasi profesi. Semua upaya dilakukan hanya dengan satu alasan.
Indonesia tidak ingin menjadi tuan rumah yang hanya menonton di negeri
sendiri. Di tengah persaingan yang ketat, Indonesia tidak menginginkan
posisi akuntan dan pembukuan justru dirampas oleh akuntan asing.
Kekhawatiran pemerintah akan
kompetensi akuntan Indonesia telah mendorong pemerintah menetapkan
Mutual Recognition Arrangement on Accountancy Services dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
25/PMK.01/2014 pada tanggal 3 Februari 2014 tentang Akuntan
Beregister Negara oleh Kementerian Keuangan. Peluang untuk menjadi
akuntan beregister juga semakin terbuka bagi kalangan lulusan S1 dari
berbagai displin ilmu untuk mengikuti ujian Certified Public
Accountant (CPA) dan Chartered Accountant (CA) secara langsung tanpa
perlu mengikuti pendidikan profesi khusus. Certified Public Accountant
(CPA) adalah program sertifikasi untuk auditor dan Chartered Accountant
(CA) adalah program sertifikasi untuk akuntan selaku penyusun laporan
keuangan.
Sebelum peraturan baru berlaku untuk
menjadi seorang akuntan beregister, para lulusan S1 Akuntansi atau
bidang ilmu lain harus mengambil Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAK)
selama 9-24 bulan (tergantung kelas dan universitas yang diambil)
dengan menyelesaikan pendidikan 21-30 SKS untuk mendapatkan gelar
Akuntan (Ak). Singkat kata, kebijakan tanpa mengikuti PPAK dan S1 dari
berbagai disiplin ilmu dapat mengikuti Ujian Sertifikasi Akuntan adalah
untuk mempersiapkan para akuntan Indonesia yang berkualitas global dan
mampu bersaing dengan akuntan-akuntan dari negara lainnya.
Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Tarko Sunaryo
pernah menyatakan adanya kekhawatiran akuntan Indonesia akan kalah
saing dengan akuntan negara tetangga dikarenakan kurangnya penyadaran
tentang kompetisi yang semakin ketat. Kemampuan dalam berbahasa Inggris
juga menjadi salah satu kendala akuntan Indonesia menyambut MEA 2015.
Sedangkan, negara tetangga mengganggap Indonesia adalah pangsa pasar
yang strategis untuk dimasuki. Oleh karena itu, akuntan Indonesia
harus bergegas sebelum dimasuki akuntan asing.
“Menurut saya akuntan Indonesia belum siap. Persiapan dan waktu
yang diberikan kurang dan terlalu tergesa-gesa serta pembekalan di
kampus-kampus masih kurang. Apalagi akuntan Indonesia masih asing
dengan International Financial Reporting Standards” ungkap Supriyanto
SE, MM, CPA yang merupakan auditor sekaligus akuntan pendidik yang sudah
menjalani profesinya selama 6 tahun. Beliau telah mendapatkan gelar
CPA setahun yang lalu. Menurut pandangan beliau, MEA 2015
diberlakukan dalam rentetan waktu yang terlalu singkat. Meskipun
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah melakukan langkah besar untuk
mempersiapkan akuntan Indonesia dengan ujian CA dan IAPI mempersiapkan
auditor dengan ujian CPA, masih banyak akuntan yang bingung akan manfaat
dan tujuan gelar tersebut.
“Kesimpulannya terlalu last minute.
Kita kalah di kuantitas dan juga kualitas”. Selain itu, kesadaran akan
MEA 2015 yang masih lemah di kalangan akuntan dan perusahaan justru
memperoleh respon yang pasif. “Tidak ada gambaran ancaman sebesar apa
yang akan terjadi karena kurangnya sosialisasi dan pembekalan kepada
para mahasiswa dan para akuntan praktisi, sehingga kepedulian terhadap
MEA 2015 sangatlah kurang”.
Ketidakpedulian para akuntan memang
tergambar jelas oleh para mahasiswa maupun lulusan Sarjana Akuntansi,
terutama oleh lulusan dan mahasiswa Sarjana Akuntansi di Kota Batam.
Padahal Batam merupakan wilayah perbatasan yang paling dekat dengan
negara-negara ASEAN. Bahkan ada yang di antara mereka tidak tahu apa
itu MEA 2015 dan apa dampaknya terhadap pasar Indonesia. Sedangkan MEA
2015 sudah di depan mata dan pemerintah sudah merasa was-was takut
terancam. Sesungguhnya mereka bukan tidak tahu, melainkan kurang
peduli.
Tantangan akuntan Indonesia dalam MEA
2015 bukan lagi masalah individual dan bukan juga masalah profesi.
Kini, tantangan ini telah menjadi masalah nasional yang menyangkut
kemajuan profesi nanti. Janganlah Indonesia menjadi pengguna jasa
akuntan negara lain, ketimpang akuntan negara sendiri. Negara lain
memandang Indonesia sebagai pangsa pasar yang strategis untuk dimasuki,
tapi apakah kita menyediakan kesempatan ini terbuka lebar untuk
dijajahi akuntan asing? Tentu saja tidak. Dari sisi kompetensi dan
keahlian, akuntan Indonesia sesungguhnya mampu bersaing karena
standar pendidikan dan infrastruktur pengembangan kompetensi terus
diperbaiki dan terus dituntut mengikuti standar internasional.
Apabila kita mampu mencapai sinergitas dan memiliki strategi untuk
menjadi juara, kita bisa menang. Artinya, peningkatan kualitas dan
kuantitas harus terus kita pantau.
Indonesia justru memiliki potensi
besar karena menurut data dari IAI, akuntan beregister saat ini sudah
mencapai 52.000 dan jumlahnya terus bertambah setiap tahun karena
banyak lulusan program studi akuntansi dari berbagai universitas di
Indonesia. Kuantitas tidak menjadi hal yang krusial, namun yang perlu
kita cermati adalah jumlah akuntan publik yang pertumbuhannya kurang
signifikan (kurang dari 4%) dan rendahnya peminat yang mengambil
program profesi.
Melihat kondisi-kondisi di atas, sudah
saatnya akuntan Indonesia bangun dari tidurnya. Keluar dari zona
nyaman dan meningkatkan kompetensi melalui ujian bersertifikasi.
Dengan mendapatnya sertifikasi akuntan, para akuntan dapat membuka
kantor akuntan milik sendiri dan berhak melakukan pengauditan. Dengan
bertambahnya akuntan bersertifikat, secara langsung daya saing akuntan
Indonesia meningkat dan tidak lagi menjadi bumerang untuk diserang
bangsa asing.
Tidak mungkin kita membiarkan negara
kita dipenuhi akuntan dari negara ASEAN lainnya seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Brunei Darusalam bahkan
Filipina. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya, kaya akan Sumber
Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Hanyalah semangat
kompetitif saat ini belum terpupuk, rasa sinergitas yang masih harus
terus dijaga. Ayo Akuntan Indonesia! Bergegaslah! Mari kita bersinergi
agar dunia bisnis dan perdagangan kita di bawah kontrol kita sendiri,
orang Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment